Oleh: Gusti Aditya
Seorang pria tua menawari saya
“Becak…becak, Den,” Ujarnya dengan peluh memenuhi badannya
Di seberang, ada yang mentertawakannya
Dengan menunjuk sang bapak, mereka berkata durjana
Hidup sulit untuk manusia seperti sang bapak
Sudah lelah, masih ditertawakan pula
Belum lagi dijalan, hawa panas siap mencengkramnya hidup-hidup
Belum lagi kala berjumpa sang lampu merah, mencegatnya disetiap perempatan jalan
Di rumah anak dan istrinya sudah menunggu
Mereka mengharap setetes air bersih atau segenggam sangu
Indahnya dunia adalah sesuap nasi, bukan seteguk Starbuck
Hangatnya malam adalah berkumpul bersama, bukan diskotik daerah Kaliurang
Taksi mewah, mereka tidak keberatan mengeluarkan rupiah
Sedang jasa si bapak, mereka siap menawar hingga cekikan ekonomi diterima dengan mudah
Kayuhan demi kayuhan, dilalui bukan sekedar rintangan
Peluh demi peluh adalah air suci yang mendekatkannya dengan pintu rejeki
Sedang di pojok kota satunya, para remaja asik menghabiskan rupiah di sebuah tempat pelepas dahaga
Mereka tertawa sedangkan ibunya sedang menangis karena dagangannya tak laku dan layu
“Hidup sulit karena dibuat sulit,” katanya.
Dunia bukan melulu suatu di sekitarmu, nak
Jogja lupa akan cerita indah sebuah bel sepeda yang memenuhi agungnya kota ini
Jogja memiliki hobi baru, membangun bangunan baru, meruntuhkan rakyat hina di sekitarnya
Jogja juga kian asik membeli berbagai kendaraan untuk memenuhi kotanya
Sebenarnya bukan Jogja, lebih tepatnya adalah manusianya
Manusia di kota ini begitu unik
Lebih banyak akan membuatmu tergelitik
Pagi adalah kemacetan, siang adalah panas dan malam adalah simbahan darah
Jogja, hari ini, dipenuhi anjing dalam balutan kulit manusia
“Becak…becak, Den,” Ujarnya dengan peluh memenuhi badannya
Di seberang, ada yang mentertawakannya
Dengan menunjuk sang bapak, mereka berkata durjana
Hidup sulit untuk manusia seperti sang bapak
Sudah lelah, masih ditertawakan pula
Belum lagi dijalan, hawa panas siap mencengkramnya hidup-hidup
Belum lagi kala berjumpa sang lampu merah, mencegatnya disetiap perempatan jalan
Di rumah anak dan istrinya sudah menunggu
Mereka mengharap setetes air bersih atau segenggam sangu
Indahnya dunia adalah sesuap nasi, bukan seteguk Starbuck
Hangatnya malam adalah berkumpul bersama, bukan diskotik daerah Kaliurang
Taksi mewah, mereka tidak keberatan mengeluarkan rupiah
Sedang jasa si bapak, mereka siap menawar hingga cekikan ekonomi diterima dengan mudah
Kayuhan demi kayuhan, dilalui bukan sekedar rintangan
Peluh demi peluh adalah air suci yang mendekatkannya dengan pintu rejeki
Sedang di pojok kota satunya, para remaja asik menghabiskan rupiah di sebuah tempat pelepas dahaga
Mereka tertawa sedangkan ibunya sedang menangis karena dagangannya tak laku dan layu
“Hidup sulit karena dibuat sulit,” katanya.
Dunia bukan melulu suatu di sekitarmu, nak
Jogja lupa akan cerita indah sebuah bel sepeda yang memenuhi agungnya kota ini
Jogja memiliki hobi baru, membangun bangunan baru, meruntuhkan rakyat hina di sekitarnya
Jogja juga kian asik membeli berbagai kendaraan untuk memenuhi kotanya
Sebenarnya bukan Jogja, lebih tepatnya adalah manusianya
Manusia di kota ini begitu unik
Lebih banyak akan membuatmu tergelitik
Pagi adalah kemacetan, siang adalah panas dan malam adalah simbahan darah
Jogja, hari ini, dipenuhi anjing dalam balutan kulit manusia
0 komentar:
Post a Comment